idealoka.com – Destinasi
wisata ekstrem ini bernama goa Luweng Jaran. Lokasinya di Desa
Jlubang, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Untuk menelusurinya dibutuhkan
persiapan, ketrampilan khusus, dan peralatan memadai.
Saya
bersama Federasi Panjat Tebing Indonesia Cabang Pacitan, Mahasiswa Islam
Pecinta Alam Unmuh Ponorogo, Mahasiswa Ekonomi UNS Solo, Badan Penanggulangan
Bencana Daerah Pacitan memasukinya tahun 2012 silam.
Tim penelusur gua yang
terdiri dari lima orang termasuk saya berkoordinasi di atas pintu masuk LuwengJaran.
Suhu badan saya meningkat perlahan. Jantung pun berdetak lebih cepat daripada
biasanya. Saya deg-degan karena sebentar lagi harus
masuk luweng. Penelusuran gua merupakan pengalaman pertama saya.
Koordinasi berlangsung
sekitar 15 menit. Satu persatu tim penelusur gua, yakni saya; perwakilan dari
Federasi Panjat Tebing Indonesia Cabang Pacitan; mahasiswa pecinta alam dari
Universitas Sebelas Maret Solo; dan Universitas Muhammadiyah Ponorogo mulai
melakukan persiapan masuk gua di bawah saluran sungai ‘mati’.
Perlengkapan
seperti coverall (pakaian khusus untuk penelusuran gua), satu
set SRT (single rope technique), sepatu boot, sarung tangan, helm,
dan headlamp mulai dipakai. Dua di antara anggota tim
penelusur gua (caver), yakni Roma Haqni dan Tony Syaifulta mendekat
ke pintu masuk luweng.
Mereka memasang tali
khusus yang biasa disebut kernmantle untuk menuruni gua. Salah satu ujung tali
dikaitkan dahan pohon yang menjulur ke dekat pintu masuk luweng. Sekitar
30 menit kemudian, Roma masuk pintu pertama yang berupa celah bebatuan kapur
dengan lebar sekitar 1 meter.
Dia membuat jalur untuk
masuk ke sumuran pertama Alurnya miring dengan kedalaman 12 meter. “Free,”
kata dia setelah tiba di dasar sumuran pertama. Kata itu diucapkan sebagai
isyarat bahwa kernmantle yang menjulur bebas dari pintu masukluweng hingga
dasar sumuran pertama bisa digunakan anggota tim lain.
Saya dan anggota tim
secara bergantian turun dengan memanfaatkan tali sebagai alat bantu. Setelah
seluruhnya tiba di dasar sumuran pertama, kami berjalan menuju ke bibir sumuran
kedua. Kondisinya gelap.
Lampu senter dan headlamp menjadi
andalan penerangan untuk melewati lorong sempit antara dasar sumuran pertama
dengan bibir sumuran kedua. Panjangnya 10 meter.
Tiba di bibir sumuran
kedua, saya bengong. Saya merasa berada di suatu gedung luas yang gelap.
Langit-langitnya terlihat jauh dari tempat saya berdiri. Kilau stalagtit dan
stalagmit kian nampak ketika disirami cahaya lampu. Bentuknya tak beraturan.
Saat nafas masih ngos-ngosan dan
keringat mengucur, saya memperhatikan pemandangan itu. Saya tak habis pikir di
bawah saluran sungai terdapat potensi yang eksotik seperti ini. Suasananya pun
tenang. Saya pun merebahkan badan di atas batu dengan tatapan mata terus
mengarah ke dinding dan langit-langit gua.
Kekuatan fisik dan mental benar-benar diuji ketika menyusuri Luweng Jaran.
Untuk menuju dasarnya harus merambat dengan menggunakan seutas tali. Tony Syaifulta, salah seorang angota tim
beranjak dari duduknya. Ia menuju titik penurunan di bibir sumuran kedua. Satu
SRT set yang melekat di badannya dikaitkan ke kernmantle. Ia meluncur dan dalam
sekejap tubuhnya menghilang di kegelapan gua. ‘’Free,’’ begitu
kata pemuda berambut gondrong itu beberapa detik kemudian. Ia telah berada di
dasar sumuran kedua.
‘’Untuk yang pertama
turun, tolong nanti jaga tali di bawah,’’ ujar Roma. Dari hasil
koordinasi, Roma mendapat tugas bersiaga di bibir sumuran kedua.
Setelah itu, secara
bergantian kami merambat turun dengan mengikuti kermantle yang melekat kuat
pada SRT set yang dikenakan. Perlahan tapi pasti, kami berhasil mendarat mulus
di dasar sumuran kedua. Setelah tali terlepas, perjalanan dilanjutkan dengan
berjalan kaki menyusuri alur sungai di bawah permukaan bumi tersebut.
Komunikasi antara tim yang nyemplung dan yang berjaga
menggunakan handy talky.
Gelap, lembap, dan
sunyi. Begitulah kondisi di dasar luweng. Dengan penerangan senter
dan headlamp, batu-batu di sana terlihat kokoh. Bentuknya
tidak teratur seperti halnya sungai di atas permukaan bumi. Alurnya pun tidak
rata.
Selain itu, ada
beberapa titik yang berbentuk layaknya perbukitan. Lumpur juga melekat di
bebatuan tersebut. Setelah melintasi bukit ada pemandangan yang indah. Beberapa
dasar gua tersekat-sekat seperti kolam ikan dan terisi genangan air jernih.
Tak jauh dari situ,
ada sejumlah stalakmit yang masih hidup alias bisa tumbuh. Batu kapur itu
berwarna putih dan berada di dekat deretan kolam batu tersebut. ‘’Ini masih
alami dan perlu dijaga agar bisa tetap tumbuh,’’ tutur salah seorang anggota
tim.
Selain itu, ada juga
stalakmit menembus dinding gua. Diameternya sekitar 1 meter dengan juntaian
yang indah. Melihat keindahan itu rasa lelah setelah menuruni sumuran kedua tak
lagi terasa. Kaki ingin terus melangkah untuk bisa menikmati eksotisme luweng yang
berjarak sekitar 20 kilometer dari Pacitan kota ini.
Tim yang menelusuri
gua kembali melangkahkan kakinya perlahan. Sepuluh pasangan mata terus
menggerayangi di sekelilingnya. Kekaguman kembali muncul. Itu setelah melihat
salah satu ornamen di dinding gua berkilauan saat cahaya lampu senter
maupun headlamp yang dibawa anggota tim penelusur menyorotnya.
(*)
Penulis dan fotografer:
Nofika Dian Nugroho
(Jurnalis di Madiun dan sekitarnya)
nofika.nugroho@gmail.com
0 Response to "Ekspedisi Luweng Jaran (2) : Goa Vertikal yang Menantang"
Posting Komentar