ideloka.com – Susah payah
menuruni sumuran luweng akhirnya terbayar. Eksotisme bebatuan di
perut bumi terpampang indah.Tiba-tiba
saja pria itu mematikan lampu senternya. Spontan saja, bagian batu yang
sebelumnya kena sorotan cahaya tak lagi berkelip. Rasa penasaran pun semakin
muncul. Maka, dia sengaja mematikan handlamp-nya. Ternyata sama,
bagian batu tidak berkilau. ‘’Kilaunya terlihat saat kena cahaya,’’ tuturnya.
Puas menikmati
keindahan bagian gua itu, tim terus melangkah maju. Kali ini, menuruni bebatuan
yang basah dan tergenangi air. Di sana, terlihat stalaktit yang menembus
dinding gua. Juga, stalakmit yang menjuntai indah. Warnanya putih dengan
permukaan tidak rata dan banyak lubang di sana-sini.
Meskipun kondisi di
dalam gua semakin lembap, para anggota tim ekspedisi tetap betah berlama-lama
di sana. Apalagi, bebatuan di dalamnya seolah tak berhenti menyajikan
keindahan. Ada beberapa yang berdiri tegak layaknya tugu. Tingginya bervariasi.
Mulai 1,5 meter, satu meter, hingga 10 sentimeter. Selain itu, ada pula
bebatuan yang berlubang besar dengan guratan alami nan eksotis.
Tri Widiyanti, anggota
tim penelusuran luweng dari UNS Solo cukup tertarik dengan batu
berlubang tersebut. Tatapan matanya terus mengamati benda di depannya. Saat
itu, dia melihat lubang dengan diameter sekitar 50 sentimeter itu tembus di
samping batu. Kekagumannya juga karena tekstur yang tidak rata tapi mengkilap
seperti baru saja disemprot antigores. Padahal, terkena rembesan air dari alur
sungai di atas permukaan bumi.
Lembapnya udara dan
ketatnya pakaian, membuat saya merasa panas. Keringat mengalir deras. Nafas pun
kuhela sambil mengusap keringat di wajah. Dalam keadaan seperti ini saya tetap
memperhatikan bebatuan di luweng. Mulai dari yang berada di dinding,
dijadikan tempat duduk, dan berada di bawahnya.
Sayup-sayup terdengar
tetesan air. Sorotan senter dan headlamp berusaha mencari
sumber suara di keheningan gua tersebut. Ternyata di sekitar tempat istirahat
itu genangan jernih yang luas. Para anggota tim ekspedisi pun tertarik
melihatnya lebih dekat. Kaki kembali melangkah untuk menuruni benjolan batu
besar yang dijadikan alas duduk.
Semakin dekat dengan
genangan air, tetesannya lebih terdengar jelas. Air itu menetes dari bebatuan
yang berada di atas genangan. ‘’Begitu bening,’’ tutur Roy, salah seorang
anggota tim.
Pemuda itu memasukkan
kedua kakinya yang tak terbungkus boot. Dia pun tersenyum sembari
membungkukkan badannya untuk mencelupkan tangannya ke dalam air. Di titik
genangan air itu Roy betah berlama-lama. Stamina yang terus turun karena
tubuhnya tak terlindung coverall seolah tak
dihiraukannya. (*)
Penulis dan fotografer:
Nofika Dian Nugroho
(Jurnalis di Madiun dan sekitarnya)
nofika.nugroho@gmail.com
0 Response to "Ekspedisi Luweng Jaran (3) : ‘Istana’ Stalaktit dan Stalakmit Kristal "
Posting Komentar