idealoka.com – Banyuwangi
terus mengangkat kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakat, salah satunya
tradisi minum kopi suku Using Banyuwangi. Tradisi rakyat ini diangkat dalam
ajang Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang digelar di sepanjang jalan Desa Kemiren, Kecamatan
Glagah, Sabtu malam, 20 Oktober 2017. Festival ini juga diwarnai aksi barista
cilik asli Kemiren.
Warga
Desa Kemiren kedatangan ribuan tamu saat berlangsungnya Festival Ngopi Sepuluh
Ewu. Mereka semua disambut hangat di halaman rumah segenap warga desa. Ribuan
cangkir kopi dan makanan ringan tradisional disuguhkan secara cuma cuma bagi
semua yang datang.
Bupati
Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mengatakan tradisi minum kopi merupakan tradisi
warga Using yang menjadi simbol persaudaraan. Mereka memiliki semboyan Sak Corot Dadi Sakduluran yang artinya satu
seduhan kita bersaudara. Sudah sepatutnya pemerintah daerah terus melestarikan
budaya yang baik ini.
"Festival
ini juga menjadi bagian dari upaya menjaga semangat gotong royong. Masyarakat
rela menyuguhkan secara gratis kopi dan makanan untuk semua orang yang bahkan
belum dikenal. Meski terkesan sederhana namun cara ini ampuh untuk merajut
persatuan di antara kita," kata Anas saat membuka festival.
Saat
even berlangsung, meja dan kursi kursi tamu yang disiapkan di setiap rumah
nyaris tak mampu menampung banyaknya orang yang datang. Antusiasme pengunjung
festival ini terus bertambah di setiap tahun penyelenggaraannya.
Tidak
hanya antusiasme merasakan tradisi minum kopi saja yang berhasil muncul dari
penyelenggaraan even ini. Yang membanggakan even ini telah merangsang munculnya
bibit-bibit muda penyaji kopi handal atau barista dari Desa Kemiren.
Di
festival itu ditampilkan tiga barista cilik. Salah satunya Shavira Putri
Windiarti yang malam itu terlihat terampil menyeduh kopi. Gadis berusia 10
tahun itu, dengan hati-hati mengukur takaran bubuk kopinya. "Kopinya 40 Mg,
nanti airnya banding sepuluh," katanya sembari melakukan proses pure over.
Putri,
sapaan gadis yang masih kelas 6 SDN 1 Mojopanggung itu, kemudian menyeduhkan
air panas ke bubuk kopi yang telah disiapkan di atas alat penyaring kopi,
Chimex. Air panasnya sendiri, disiapkan oleh Muhammad Ridlo Fadil Banan, 10
tahun, barista cilik lainnya.
"Suhu
airnya harus 92 derajat," ucap Fadil, bocah yang masih kelas 4 SDN 1
Mojopanggung, Giri itu, seraya menunjukkan suhu air pada papan temperatur di
kompor elektroniknya.
Bagi
mereka, menyajikan kopi yang baik dan benar bukanlah perkara mudah. Ada takaran
dan teknik tertentu untuk bisa menghasilkan secangkir kopi yang nikmat.
Ketiga
barista cilik tersebut, merupakan binaan dari master kopi dunia asal Banyuwangi,
Setiawan Subekti, yang akrab disapa Iwan. Mereka dikenalkan dan dilatih tentang
bagaimana membuat kopi yang benar. "Lebih dari tujuh kali pertemuan untuk
bisa mengajarkan mereka cara membuat kopi," tutur pemilik Sanggar Genjah
Arum itu.
Iwan
pun memuturkan bagaimana dia mengajari anak-anak ini. Awalnya mereka diberi
kebebasan bermain dengan kopi dan berbagai peralatannya. Setelah timbul
ketertarikan, mulai diajarkan materi. Mulai dari yang dasar, seperti takaran
kopi dan air, perbandingannya hingga teknik menuang airnya.
"Untuk
menghasilkan cita rasa kopi yang baik memang semuanya memiliki pengaruh. Tidak
bisa sembarangan. Itu yang saya ajarkan dengan cara bermain-main.Jika sejak
dini sudah belajar dan lagi sudah menyenanginya, bukan tidak mungkin untuk bisa
menjadi barista profesional yang handal " ceritanya. (*)
Sumber: https://www.banyuwangikab.go.id/berita-daerah/festival-ngopi-sepuluh-ewu-banyuwangi-tampilkan-barista-cilik.html
0 Response to "Seduhan Persaudaraan di Festival Ngopi Sepuluh Ewu Banyuwangi"
Posting Komentar